Selasa, 30 Juli 2013

Kasus Persengketaan Industrial

Sengketa Divestasi Saham melalui Arbitrase Internasional (Sengketa Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara)
Perselisihan  terjadi antara Pemerintah RI dengan Newmont terkait divestasi saham perusahaan. PT. NNT mengoperasikan daerah tambang emas terbesar kedua di Indonesia. Setiap tahunnya Newmont membayar pajak dan royalti tambang kepada pemerintah RI yang nilainya triliunan rupiah. Akuisisi 7% saham Newmont oleh pemerintah RI yang baru saja dilakukan beberapa minggu lalu menghabiskan biaya 2,7 triliun rupiah sehingga nilai perusahaan diperkirakan hampir 40 triliun rupiah.  Dengan nilai aset dan pendapatan yang demikian tinggi, wajar bila saham Newmont menjadi incaran para pebisnis di bidang tambang. Salah satu grup bisnis Tambang yang sangat menginginkan dan telah memiliki saham Newmont adalah PT. Bumi Resources,Tbk milik Grup Bakrie yang dikenal dengan tambang batu bara besarnya di Kalimantan.
       Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT, ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas saham Newmont kepada bangsa Indonesia (dalam kontrak disebut sebagaiIndonesian Participant) setelah 5 tahun masa operasi tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan selama 5 tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Singkat kata divestasi Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut dan baru dilakukan setelah Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham tersebut di pengadilan arbitrase tahun 2009. Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh kepemilikan asing Newmont (yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta nasional) sehingga Indonesian Participant bisa memiliki 51% saham perusahaan tambang ini.
       Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status default  (lalai)  kepada  Newmont,  11  Februari  2008,  karena  tidak  kunjung  menjual  3% sahamnya  untuk  periode  2006  dan  7%  saham  periode  2007.
        Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli 2008, Newmont mengajukan arbitrase tambahan terkait divestasi 7% saham  yang  diwajibkan  kontrak  karya.  Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
        Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakahfirst right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
       Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. Namun, JPN mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi dapat dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
       Pemerintah  RI sebelumnya  menolak  karena menilai  pengajuan  arbitrase  itu  belum  memenuhi  syarat,  karena  status  lalai  belum dijatuhkan, akhirnya menerima penyatuan arbitrase dan dimulai pada 15 Juli 2008. Melalui proses panjang, akhirnya Majelis Arbitrase Internasional mengeluarkan  lima keputusan  final pada 31 Maret 2009 yang memenangkan Pemerintah RI.
       Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan gugatan atas kasus divestasi PT NNT di arbitrase internasional. United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional, memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya. Mereka juga menyatakan bahwa PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian), memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan 7% tahun 2007 kepada pemerintah daerah sedangkan untuk tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Selain itu, saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT. Newmont juga harus mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Perusahaan tambang yang berkantor pusat di Denver, Colorado itu wajib membayar biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk proses arbitrase sebesar AS$ 1,8 juta.
       Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6 sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9 sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar