Sengketa Divestasi Saham melalui
Arbitrase Internasional (Sengketa Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont
Nusa Tenggara)
Perselisihan
terjadi antara Pemerintah RI dengan Newmont terkait divestasi saham perusahaan.
PT. NNT mengoperasikan daerah tambang emas terbesar kedua di Indonesia. Setiap
tahunnya Newmont membayar pajak dan royalti tambang kepada pemerintah RI yang
nilainya triliunan rupiah. Akuisisi 7% saham Newmont oleh pemerintah RI yang
baru saja dilakukan beberapa minggu lalu menghabiskan biaya 2,7 triliun rupiah
sehingga nilai perusahaan diperkirakan hampir 40 triliun rupiah. Dengan
nilai aset dan pendapatan yang demikian tinggi, wajar bila saham Newmont
menjadi incaran para pebisnis di bidang tambang. Salah satu grup bisnis Tambang
yang sangat menginginkan dan telah memiliki saham Newmont adalah PT. Bumi
Resources,Tbk milik Grup Bakrie yang dikenal dengan tambang batu bara besarnya
di Kalimantan.
Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT,
ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas saham Newmont kepada bangsa
Indonesia (dalam kontrak disebut sebagaiIndonesian Participant) setelah 5 tahun
masa operasi tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan selama 5
tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Singkat kata divestasi
Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut dan baru dilakukan
setelah Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham tersebut di pengadilan
arbitrase tahun 2009. Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh kepemilikan
asing Newmont (yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta
nasional) sehingga Indonesian Participant bisa memiliki 51% saham
perusahaan tambang ini.
Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan
status default (lalai) kepada Newmont, 11
Februari 2008, karena tidak kunjung menjual
3% sahamnya untuk periode 2006 dan 7%
saham periode 2007.
Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di
hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli
2008, Newmont mengajukan arbitrase tambahan terkait divestasi 7% saham
yang diwajibkan kontrak karya. Proses arbitrase
berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang
tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua
orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia,
yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli
independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase
agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont
dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian
alias default. Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah
meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat
Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen
Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal
pelaksanaan divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk
menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada
terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakahfirst right of
refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont
bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase
menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya,
belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak.
Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50
persen lebih. Namun, JPN mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri
jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak
karya, terminasi dapat dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki
kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
Pemerintah RI sebelumnya menolak karena menilai
pengajuan arbitrase itu belum memenuhi
syarat, karena status lalai belum dijatuhkan, akhirnya
menerima penyatuan arbitrase dan dimulai pada 15 Juli 2008. Melalui proses
panjang, akhirnya Majelis Arbitrase Internasional mengeluarkan lima
keputusan final pada 31 Maret 2009 yang memenangkan Pemerintah RI.
Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan gugatan atas
kasus divestasi PT NNT di arbitrase internasional. United Nation Commission on
International Trade Law (UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal)
yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional, memerintahkan PT NNT
untuk melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya. Mereka juga menyatakan
bahwa PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian),
memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham, yang
terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan 7% tahun 2007 kepada
pemerintah daerah sedangkan untuk tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah
Republik Indonesia. Semua kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180
hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Selain itu, saham yang
didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana untuk
pembelian saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT. Newmont juga harus
mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan
arbitrase dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan
arbitrase. Perusahaan tambang yang berkantor pusat di Denver, Colorado itu
wajib membayar biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk
proses arbitrase sebesar AS$ 1,8 juta.
Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah
saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam
Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada
akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6
sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada
akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9
sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua
kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap
dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada
pada waktu ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar