Selasa, 30 Juli 2013

Perpajakan Dalam Hukum Ekonomi

BAB I
Pendahuluan


1.1  LATAR BELAKANG
Dalam setiap kedudukan kehidupan perekonomian yang sangat dbutuhkan oleh setiap Negara, baik Negara-negara maju dan Negara-negara berkembang menginginkan kelancaran jalannya proses perekonomian. Sehingga membutuhkan ketaatan-ketaatan dalam setiap proses ekonomi. Dengan adanya aspek hukum dalam ekonomi yang mengatur setiap jalannya ekonomi, akan memperlancar dan mengatur perekonomian dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dan dibuat secara kesepakatan.
Banyak orang yang menyalahgunakan aturan hukum ekonomi. Yang seharusnya dijalankan sesuai dengan aturan yang ditentukan, tetapi karena ingin kemudahan atau kelancaran yang lebih cepat  sehingga ia mengubah aturan tersebut. Disinilah sebenarnya bagaimana aturan dalam ekonomi itu harus di laksanakan.

1.2  TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang aspek hukum dalam ekonomi dan mengulas kembali pelajaran mata kuliah aspek hukum dalam ekonomi. Diharapkan juga agar dapat bermanfaat bagi kita semua.










BAB II
PERPAJAKAN DALAM HUKUM EKONOMI


2.1 Pengertian pajak

Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut:
1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan

2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’.
Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
* Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
* Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;
* Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
* Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
* Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

3. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah’

4. Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria without reference to specific benefits receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social objectives”
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.

2.2 Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.      Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia.
2.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3.      PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a.       barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
d.      Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e.       Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.      Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6.      Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:

1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan,
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.
2.3 Manfaat Pajak

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

2.4 Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.


2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.

2.5 Bentuk Usaha Tetap (BUT).

BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

2.5.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.

Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah. Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.

Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.


Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan. Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan. Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.

PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.

2.5.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.

Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;

Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).

Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan. Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.

UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan).


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban pajak yang lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)
2. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.






Daftar Pustaka



Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung


Aspek Hukum Dalam Ekonomi

BAB I
Pendahuluan




1.1  LATAR BELAKANG
Dalam setiap kedudukan kehidupan perekonomian yang sangat dbutuhkan oleh setiap Negara, baik Negara-negara maju dan Negara-negara berkembang menginginkan kelancaran jalannya proses perekonomian. Sehingga membutuhkan ketaatan-ketaatan dalam setiap proses ekonomi. Dengan adanya aspek hukum dalam ekonomi yang mengatur setiap jalannya ekonomi, akan memperlancar dan mengatur perekonomian dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dan dibuat secara kesepakatan.
Banyak orang yang menyalahgunakan aturan hukum ekonomi. Yang seharusnya dijalankan sesuai dengan aturan yang ditentukan, tetapi karena ingin kemudahan atau kelancaran yang lebih cepat  sehingga ia mengubah aturan tersebut. Disinilah sebenarnya bagaimana aturan dalam ekonomi itu harus di laksanakan.

1.2  TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang aspek hukum dalam ekonomi dan mengulas kembali pelajaran mata kuliah aspek hukum dalam ekonomi. Diharapkan juga agar dapat bermanfaat bagi kita semua.








BAB II
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal.

2.1  Sistem perekonomian

Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrim tersebut. Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. Sebuah perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. Sementara pada perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan.

·         Perekonomian terencana

Ada dua bentuk utama perekonomian terencana, yaitu komunisme dan sosialisme. Sebagai wujud pemikiran Karl Marx, komunisme adalah sistem yang mengharuskan pemerintah memiliki dan menggunakan seluruh faktor produksi. Namun, lanjutnya, kepemilikan pemerintah atas faktor-faktor produksi tersebut hanyalah sementara. Ketika perekonomian masyarakat dianggap telah matang, pemerintah harus memberikan hak atas faktor-faktor produksi itu kepada para buruh. Uni Soviet dan banyak negara Eropa Timur lainnya menggunakan sistem ekonomi ini hingga akhir abad ke-20. Namun saat ini, hanya Kuba, Korea Utara, Vietnam, dan RRC yang menggunakan sistem ini. Negara-negara itu pun tidak sepenuhnya mengatur faktor produksi. China, misalnya, mulai melonggarkan peraturan dan memperbolehkan perusahaan swasta mengontrol faktor produksinya sendiri.

·         Perekonomian pasar

Perekonomian pasar bergantung pada kapitalisme dan liberalisme untuk menciptakan sebuah lingkungan di mana produsen dan konsumen bebas menjual dan membeli barang yang mereka inginkan (dalam batas-batas tertentu). Sebagai akibatnya, barang yang diproduksi dan harga yang berlaku ditentukan oleh mekanisme penawaran-permintaan.




·         Perekonomian pasar campuran

Perekonomian pasar campuran atau mixed market economies adalah gabungan antara sistem perekonomian pasar dan terencana. Menurut Griffin, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang benar-benar melaksanakan perekonomian pasar atau pun terencana, bahkan negara seperti Amerika Serikat. Meskipun dikenal sangat bebas, pemerintah Amerika Serikat tetap mengeluarkan beberapa peraturan yang membatasi kegiatan ekonomi. Misalnya larangan untuk menjual barang-barang tertentu untuk anak di bawah umur, pengontrolan iklan (advertising), dan lain-lain. Begitu pula dengan negara-negara perekonomian terencana. Saat ini, banyak negara-negara Blok Timur yang telah melakukan privatisasi - pengubahan status perusahaaan pemerintah menjadi perusahaan swasta.

2.2  Kaitan Hukum Dalam Ekonomi Indonesia
                                                   
A.     Politik Hukum Ekonomi Didalam Konstitusi.

Undang-Undang dasar negara modern dewasa ini cenderung tidak hanya terbatas sebagai dokumen politik, tetapi juga dokumen ekonomi yang setidak-tidaknya mempengaruhi dinamika perkembangan perekonomian suatu negara. Karena itu, konstitusi modern dapat dilihat sebagai konstitusi politik, sosial, ataupun sebagai ekonomi. Memang ada konstitusi yang tidak secara lansung dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi, karena tidak mengatur secara eksplisit prinsip-prinsip kebijakan ekonomi. Konstitusi negara-negara liberal seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang dan sebagainya dapat disebut hanya konstitusi politik. Namun didalam konstitusi negara liberal tersebut, ketentuan mengenai moneter, anggaran (budget), fiscal, perbankan dan pemeriksaan keuangan tetap diatur, yang pada gilirannya juga memengaruhi dinamika perekonomian negara bersangkutan. Kebijakan-kebijakan tersebut lebih terkait dengan sistem administrasi negara dari pada persoalan sistem ekonomi secara lansung. Konstitusi negara-negara ini mungkin lebih tepat disebut konstitusi ekonomi secara tidak lansung. Sedangkan konstitusi ekonomi secara lansung disebut konstitusi ekonomi adalah kosntitusi yang mengatur mengenai pilihan-pilihan kebijakan ekonomi dan anutan prinsip-prinsip tertentu di bidang hak-hak ekonomi (economic rights). Jika corak konstitusi tersebut diukur dari ketentuan-ketentuan mengeanai kebijakan perekonomian seperti yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa UUD 1945 merupakan satu-satunya dokumen hukum Indonesia yang dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi.

Pasal 33 menentukan:
• Perekonomian disusun sebagai usaha bersama beradasarkan atas asas kekeluargaan.
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
• Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Secara normatif, ketentuan pasal 33 UUD 195 merupakan politik hukum ekonomi Indonesia, sebab mengatur tentang prinsip-prinsip dasar dalam menjalankan roda perekonomian. Pada Pasal 33 Ayat (1), menyebutkan bahwa perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Asas ini dapat dipandang sebagai sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam kontek sekarang yaitu persaudaraan, humanisme dan kemanusiaan. Artinya ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan liberal ala barat, tetapi ada nuansa moral dan kebersamaannya, sebagai refleksi tanggung jawab sosial. Bentuk yang ideal terlihat seperti wujud sistem ekonomi pasar sosial (social market economy). Pasal ini dianggap dari ekonomi kerakyatan.

Pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), menunjukkan bahwa negara masih mempunyai peranan dalam perekonomian. Peranan itu ada dua macam, yaitu sebagai regulator dan sebagai aktor. Ayat (2) menekankan peranan negara sebagai aktor yang berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan negara sebagai regulator tidak dijelaskan dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah “dikuasai” diinterpretasikan sebagai “diatur” tetapi yang diatur disini adalah sumber daya alam yang diarahkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sumber daya strategis meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan keseluruhannya telah diatur oleh konstitusi Pasal 33 UUD 1945 didalamnya tercantum demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan dan pemilihan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran seorang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan bangsa. Perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ketangan orang-orang yeng berkuasa dan rakyat banyak ditindas.

Sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia ialah sistem ekonomi pancasila. Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi pancasila adalah sebagai berikut:
1   Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh ransangan-ransangan ekonomi, sosial dan moral.
2.  Ada tekad kuat seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial.
3.  Ada nasionalisasi ekonomi.
4.  Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional.
5. Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dan pelaksanaannya didaerah.

Dalam model pembangunan ekonomi yang menempatkan manusia sebagai titi sentralnya, sasaran penciptaan peluang kerja dan partisipasi rakyat dalam arti seluas-luasnya perlu mendapatkan perhatian utama. Ini berarti bahwa dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan, setiap kebijakan, program, proyek-proyeknya berisi komponen-komponen kuantitatif dalam sasaran-sasaran peluang kerja, peluang berusaha dan partisipasi rakyat tersebut, lengkap dengan tolak ukur dan cara-cara menilainya.

B.     Politik Hukum Ekonomi Didalam Konstitusi Menghadapi Era Globalisasi.

Salah satu masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi di Indonesia adalah mempraktekkan kerangka hukum dan kostitusi dalam pengembangan kebijakan-kebijakan perekonomian. Selama ini, persoalan tersebut dianggap tidak penting mengingat praktek penyelenggaraan ekonomi sejak kemerdekaan telah berjalan mengikuti arus logika pembangunan ekonomi yang berkembang atas dasar pengalaman empiris dilapangan atau teori-teori dan kisah-kisah sukses di negara-negara lain yang dipandang layak dijadikan contoh. Sulit membayangkan bahwa konstitusi harus diajdikan acuan subtantif dalam setiap kebijakan resmi dalam proses pembangunan ekonomi. Apalagi kenyataan dizaman sekarang menuntut semua bangsa akrab bergaul dengan sistem ekonomi pasar yang diidialkan bersifat bebas dan terbuka. Tidak eksklusif. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat di hindarkan.

Dalam keadaan demikian, memang sulit dibayangkan bahwa penyusunan kebijakan ekonomi harus tunduk kepada logika normatif yang sempit sebagaimana telah disepakati dalam rumusan undang-undang dasar yang tertulis. Sebaik-baiknya rumusan konstitusi sebagai sumber kebijakan tertinggi tidak dapat mengikuti dengan gesit dan luwes perubahan-perubahan dinamis yang terjadi dipasar ekonomi global maupun lokal yang bergerak cepat setiap hari. Karena itu, kebiasaan untuk menjadikan konstitusi sebagai rujukan dalam penyusunan kebijakan ekonomi dapat dikatakan sangat minim. Hal itu terjadi disemua negara demokrasi. Pengaturan kebijakan ekonomi secara ketat dalam konstitusi merupakan fenomena negara-negara sosialis-komunis yang terbukti tidak berhasil memenuhi hasrat warga negara untuk bebas, baik secara politik maupun ekonomi.

Indonesia sebagai negara yang bukan komunis, juga berusaha mengadopsi beberapa prinsip yang dipraktekkan terutama dinegara-negara eropa timur, yaitu dengan mengatur prinsip-prinsip dasar kebijakan ekonomi dalam bab XIV UUD 1945 tentang perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Namun kemudian, kalaupun disadari dan dalam praktek memang dijadikan acuan, biasanya, ketentuan-ketentuan undang-undang dasar itu hanya dijadikan rujukan formal, sekedar untuk menyebut bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi itu dikembangkan berdasarkan UUD 1945.

Oleh beberapa ahli ekonomi, pasal yang mengatur tentang perekonomian didalam UUD 1945 dinilai tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Pertama, perekonomian tidak dapat lagi hanya berdasarkan kepada asas kekeluargaan, karena didunia bisnis modern tidak dapat dihindarkan sistem pemilikan pribadi sebagai hak asasi manusia yang juga dilindungi oleh undang-undang dasar. Sifat-sifat kekeluargaan dari suatu bangun usaha hanya relevan jika dikaitkan dengan koperasi sebagai bentuk-bentuk perseroan, yang berlaku adalah prinsip “one share one vote” dengan penghargaan yang tinggi terhadap hak milik (property), yaitu sama tingginya dengan penghargaan terhadap kebebasan (freedom). Hal ini tercermin dalam cara pandang masyarakat modern yang sangat mengagungkan prinsip liberty dan property.

Kemudian, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak memang harus dikuasi oleh negara, tetapi pengertian dikuasai tersebut tidak dimaksudkan untuk dimiliki. Perekonomian modern menghendaki efisiensi yang tinggi, sehingga membiarkan badan-badan usaha milik negara untuk eksis selama ini justru sama dengan membiarkan berkembang inefisiensi dalam pengelolaan sumber daya ekonomi yang justru merugikan negara dan rakyat banyak. Lagi pula, zaman modren menghendaki adanya pemisahan yang tegas antara fungsi regulasi dan policy maker dengan fungsi pelaku usaha. Tidak seharusnya pemerintah yang bertanggung jawab dibidang regulasi dan pembuatan kebijakan, terjun sendiri dalam kegiatan usaha. Karena itu, perusahaan milik negara yang ada, justru perlu diprivatisasikan agar lebih efisien dan menjamin fairness diantara pelaku usaha. Tidak mungkin ada fairness bagi pengusaha swasta jika instansi menentukan kebijakan juga turut mengambil bagian sebagai pelaku usaha secara lansung.

Dan yang terakhir, pengertian “di kuasai oleh negara” harus dipahami tidak identik dengan “dimiliki oleh negara”. Bahkan, dikatakan bahwa pengertian pengusaan oleh negara dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) tersebut bukan harus diwujudkan melalui kepemilikan negara. Negara cukup berperan sebagai regulator, bukan pelaku lansung.


CONTOH KASUS HUKUM DALAM EKONOMI
Kenaikan harga bbm minyak adalah komoditi public yang berpengaruh,public punterperangah ketika harga BBM melonjak naik 30 % laju inflasi tak kuasa dibendung. Harga komoditi lain pun ikut menaik,biaya hidup masyarakat kian membengkak,para pengamat mengecam kenaikan ini. Patokan harga minyak Indonesia terlalu tinggi. Namun konsumsi BBM tidak menurun drastic,jelas saja karena BBM merupakan kebutuhan Primer.















                                                                      BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi. perekonomian terencana (planned economies) memberikan hak kepada pemerintah untuk mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi hasil produksi. perekonomian pasar (market economic), pasar lah yang mengatur faktor-faktor produksi dan alokasi barang dan jasa melalui penawaran dan permintaan. Ada dua bentuk utama perekonomian terencana, yaitu komunisme dan sosialisme. Sebagai wujud pemikiran Karl Marx, komunisme adalah sistem yang mengharuskan pemerintah memiliki dan menggunakan seluruh faktor produksi. Uni Soviet dan banyak negara Eropa Timur lainnya menggunakan sistem ekonomi ini hingga akhir abad ke-20. Namun saat ini, hanya Kuba, Korea Utara, Vietnam, dan RRC yang menggunakan sistem ini. Perekonomian pasar bergantung pada kapitalisme dan liberalisme untuk menciptakan sebuah lingkungan di mana produsen dan konsumen bebas menjual dan membeli barang yang mereka inginkan (dalam batas-batas tertentu). Perekonomian pasar campuran atau mixed market economies adalah gabungan antara sistem perekonomian pasar dan terencana. Menurut Griffin, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang benar-benar melaksanakan perekonomian pasar atau pun terencana, bahkan negara seperti Amerika Serikat. konstitusi ekonomi secara lansung disebut konstitusi ekonomi adalah kosntitusi yang mengatur mengenai pilihan-pilihan kebijakan ekonomi dan anutan prinsip-prinsip tertentu di bidang hak-hak ekonomi (economic rights). Pasal 33 UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa UUD 1945 merupakan satu-satunya dokumen hukum Indonesia yang dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi.

Pasal 33 menentukan:
·         Perekonomian disusun sebagai usaha bersama beradasarkan atas asas kekeluargaan.
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
·         Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia ialah sistem ekonomi pancasila. Menurut Mubyarto, ciri-ciri sistem ekonomi pancasila adalah sebagai berikut:
1   Roda kegiatan ekonomi digerakkan oleh ransangan-ransangan ekonomi, sosial dan moral.
2.  Ada tekad kuat seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan sosial.
3.  Ada nasionalisasi ekonomi.
4.  Koperasi merupakan sokoguru ekonomi nasional.
5. Ada keseimbangan yang selaras, serasi, dan seimbang dari perencanaan ekonomi dan pelaksanaannya didaerah.



Salah satu masalah serius yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi di Indonesia adalah mempraktekkan kerangka hukum dan kostitusi dalam pengembangan kebijakan-kebijakan perekonomian. pengertian “di kuasai oleh negara” harus dipahami tidak identik dengan “dimiliki oleh negara”. Bahkan, dikatakan bahwa pengertian pengusaan oleh negara dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) tersebut bukan harus diwujudkan melalui kepemilikan negara. Negara cukup berperan sebagai regulator, bukan pelaku lansung.


Daftar Pustaka



Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Mas media Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009
Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia, Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato yang disampaikan pada Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2000
Griffin R dan Ronald Elbert. 2006. Business. New Jersey: Pearson Education.
H.R.E. Kosasih Taruna Sepandji, Konstitusi dan Kelembagaan Negara, Penerbit Universal, Bandung, 2000
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Januari 2010
Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, LP3ES, Jakarta,1994


Kasus Persengketaan Industrial

Sengketa Divestasi Saham melalui Arbitrase Internasional (Sengketa Pemerintah Indonesia dengan PT Newmont Nusa Tenggara)
Perselisihan  terjadi antara Pemerintah RI dengan Newmont terkait divestasi saham perusahaan. PT. NNT mengoperasikan daerah tambang emas terbesar kedua di Indonesia. Setiap tahunnya Newmont membayar pajak dan royalti tambang kepada pemerintah RI yang nilainya triliunan rupiah. Akuisisi 7% saham Newmont oleh pemerintah RI yang baru saja dilakukan beberapa minggu lalu menghabiskan biaya 2,7 triliun rupiah sehingga nilai perusahaan diperkirakan hampir 40 triliun rupiah.  Dengan nilai aset dan pendapatan yang demikian tinggi, wajar bila saham Newmont menjadi incaran para pebisnis di bidang tambang. Salah satu grup bisnis Tambang yang sangat menginginkan dan telah memiliki saham Newmont adalah PT. Bumi Resources,Tbk milik Grup Bakrie yang dikenal dengan tambang batu bara besarnya di Kalimantan.
       Sesuai Kontrak Karya tahun 1986 yang ditandatangani Pemerintah RI dan PT. NNT, ada kesepakatan untuk mendivestasikan mayoritas saham Newmont kepada bangsa Indonesia (dalam kontrak disebut sebagaiIndonesian Participant) setelah 5 tahun masa operasi tambang. Divestasi direncanakan bertahap dan dilakukan selama 5 tahun, yang semestinya jatuh pada tahun 2006-2010. Singkat kata divestasi Newmont gagal dilakukan pada masa awal periode tersebut dan baru dilakukan setelah Pemerintah RI menang dalam kasus divestasi saham tersebut di pengadilan arbitrase tahun 2009. Saham sebesar 31% mesti didivestasikan oleh kepemilikan asing Newmont (yang 20% telah dimiliki PT. Pukuafu Indah, perusahaan swasta nasional) sehingga Indonesian Participant bisa memiliki 51% saham perusahaan tambang ini.
       Perselisihan terjadi setelah Pemerintah RI menjatuhkan status default  (lalai)  kepada  Newmont,  11  Februari  2008,  karena  tidak  kunjung  menjual  3% sahamnya  untuk  periode  2006  dan  7%  saham  periode  2007.
        Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Pada 11 Juli 2008, Newmont mengajukan arbitrase tambahan terkait divestasi 7% saham  yang  diwajibkan  kontrak  karya.  Proses arbitrase berjalan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner).
        Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakahfirst right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
       Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. Namun, JPN mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi dapat dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.
       Pemerintah  RI sebelumnya  menolak  karena menilai  pengajuan  arbitrase  itu  belum  memenuhi  syarat,  karena  status  lalai  belum dijatuhkan, akhirnya menerima penyatuan arbitrase dan dimulai pada 15 Juli 2008. Melalui proses panjang, akhirnya Majelis Arbitrase Internasional mengeluarkan  lima keputusan  final pada 31 Maret 2009 yang memenangkan Pemerintah RI.
       Pada 31 Maret 2009, Pemerintah Indonesia akhirnya memenangkan gugatan atas kasus divestasi PT NNT di arbitrase internasional. United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dan Majelis Arbitrase (Arbitral Tribunal) yang terdiri dari panel yang dikenal secara internasional, memerintahkan PT NNT untuk melaksanakan ketentuan pasal 24.3 Kontrak Karya. Mereka juga menyatakan bahwa PT NNT telah melakukan default (pelanggaran perjanjian), memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham, yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3% dan 7% tahun 2007 kepada pemerintah daerah sedangkan untuk tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Republik Indonesia. Semua kewajiban tersebut harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Selain itu, saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai (clean and clear) dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan menjadi urusan PT NNT. Newmont juga harus mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dan harus dibayar dalam tempo 30 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Perusahaan tambang yang berkantor pusat di Denver, Colorado itu wajib membayar biaya yang telah dikeluarkan pemerintah untuk proses arbitrase sebesar AS$ 1,8 juta.
       Divestasi saham pada usaha pertambangan asing yang diartikan sebagai sejumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia dalam Pasal 24 KK disepakati bahwa PT NNT berkewajiban mendivestasikan sahamnya pada akhir tahun ke-5 sekurang-sekurangnya 15%, pada akhir tahun ke-6 sekurang-kurangnya 23%, pada akhir tahun ke-7 sekurang-kurangnya 30%, pada akhir tahun ke-8 sekurang-kurangnya 37%, pada akhir tahun ke-9 sekurang-kurangnya 44%, dan pada tahun ke-10 sekurang-kurangnya 51%. Semua kewajiban dari perusahaan menurut Pasal 24 ayat (4) KK akan dianggap dilaksanakan segera sesudah tidak kurang dari 51% yang diterbitkan dan yang ada pada waktu ditawarkan kepada dan dibeli oleh peserta Indonesia.