Jumat, 20 Desember 2013

Pajak Penghasilan


Sejarah dan Istilah

Pelaksanaan Pembangunan Nasional sebagai pengalaman Pancasila diarahkan agar Negara mampu membiayai Pembangunan Nasional secara mandiri dari sumber-sumber dalam negeri dengan membagi beban pembangunanantara golongan berpendapatan tinggi dan golongan berpendapatan rendah, sesuai dengan rasa keadilan untuk mendorong pemerataan Pembangunan Nasional dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai hasul reformasi undang-undang perpajakan tahun 1983 telah diundangkan undang-undang nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, sebagai landasan hokum pengenaan Pajak Penghasilan yang berlaku sejak tahun 1984, sebagaimana telah diubah beberapa kali, dimana yang terakhir dengan undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.
Pajak penghasilan yaitu salah satu sumber penerimaan Negara yang berasal dari pendapatan rakyat, merupakan wujud dari kewajiban kenegaraan dan peran serta rakyat dalam pembiayaan dan Pembangunan Nasional. Undang-undang Pajak Penghasilan ini mengatur materi pengenaan pajak yang pada dasarnya menyangkut Subjek Pajak (siapa yang dikenakan), objek Pajak (penyebab pengenaan) dan Tarif Pajak (cara menghitung jumlah pajak) dengan pengenaan yang merata serta pembebanan yang adil. Sedangkan tata cara pemungutannya diatur dalam peraturan tersendiri dalam rangka mewujudkan keseragaman, sehingga mempermudah masyarakat untuk mempelajari, memahami, serta mematuhinya.
Perubahan undang-undang Pajak Penghasilan dimaksud tetap berpegang pada prinsip-prinsip perpajakan yang dianut secara universal yaitu keadilan, kemudahan/efisiensi administrasi, dan produktivitas penerimaan Negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu, arah dan tujuan penyampurnaan Undang-undang Pajak Penghasilan ini adalah sebagai berikut :
1.  Lebih meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak.
2.  Lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak.
3.  Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan.
4.   Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi, dan tranparansi.
5. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan investasi langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas.

Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah :

1.   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 7 Tahun 1991.
4.  Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
5.  Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Berdasarkan pasal 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan jo UU Nomor 7 Tahun 2000 jo UU Nomor 36 Tahun 2008, pengertian pajak adalah "pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak". Tahun pajak yang dimaksud adalah tahun takwim, atau tahun buku yang digunakan dapat tidak sama dengan tahun takwim sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.

Subjek Pajak dan Wajib Pajak (Pasal 2-3 UU PPh)

Subjek pajak merupakan segala sesuatu yang berpotensi untuk menerima atau memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran dikenakannya pajak penghasilan. Yang menjadi Subjek Pajak Penghasilan adalah :
1.  Orang Pribadi dan Warisan yang belum terbagi
2.  Badan, termasuk didalamnya Bentuk Usaha Tetap1

Subjek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Kena Pajak. Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif dalam perpajakan, atau subjek pajak yang menerima/memperoleh penghasilan. Tempat tinggal orang pribadi berdasarkan Undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan keempat UUD 1945 Pasal 2 ayat (6) menyatakan bahwa “Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya”.

Tidak termasuk subjek pajak :

1.  Kantor perwakilan Negara Asing
2. Pejabat perwakilan diplomatic dan konsultan
3.  Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
5.  Unit tertentu dari badan pemerintah

 


1Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau yang tinggal di Indonesia < 183 hari dalam waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan/berkedudukan di Indonesia namun menjalankan usaha/kegiatan di Indonesia



Objek Pajak (Pasal 4-15 UU PPh)

Objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yangditerima atau diperoleh Wajib Pajak , baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Menurut Sunarto, dalam bukunya yang berjudul Perpajakan (2002:46),  yang dimaksud dengan Objek pajak adalah “Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kelkayaan wajib pajak ynag bersangkutan , dengan nama dan dalam bentuk apapun”.

Biaya-biaya yang Dapat Menjadi Pengurang Penghasilan
Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto/laba bruto dikurangi biaya dan pengurangan yang diperbolehkan. 

Pengurang-pengurang yang diperbolehkan adalah :
1.  Biaya/beban Usaha
2.  Kompensasi Kerugian
3.   Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), Khusus untuk WP Orang Pribadi

Menentukan Besarnya Penghasilan yang merupakan Objek Pajak

Menentukan besarnya penghasilan yang sebenernya merupakan Objek Pajak disebut juga sebagai aktivitas koreksi/rekonsiliasifiskal. Koreksi fiscal ada 2, yakni koreksi fiscal positif dan koreksi fiscal negatif. Penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final2 harus dikeluarkan dari penghasilan dalam perhitungan Pajak Penghasilan yang terutang.

Perhitungan Pajak Pada Akhir Tahun (Pasal 28-31 dan 31A UU PPh)

Pemotongan pajak atas penghasilan bagi WP luar negeri (PPh Pasal 26) adalah final, namun PPh pasal 26 yang tidak final dapat dikreditkan dengan pajak yang terutang dari WP luar negeri bersangkutan. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan yang berlaku tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang.




 


2PPh Final dalah pajak yang telah dipotong atas suatu penghasilan tertentu dan pemotongannya dianggap telah selesai (final) tanpa harus menunggu perhitungan dari fiskus/dikeluarkan SKP.



Fasilitas perpajakan dalam rangka untuk mendorong iklim investasi3

Kepada Wajib Pajak yang melakukan peneneman modal dibidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :
1.  Pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan.4
2.  Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat.
3. Kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun.
4. Pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen bagi WP luar negeri, sebagaimana dimaksud dengan pasal 26 sebesar 10%, kecuali apabila tariff menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

Ketentuan lain-lain (Pasal 31B, 31C, 32 dan 32S UU PPh)

Penerimaan Negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk pemerintah pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajin Pajak terdaftar.
Tata cara pengenaan pajak yang meliputi penyetoran, pelaporan, pemeriksaan, ketetapan, perlawanan pajak, dan saksi dibidang perpajakan dilakukan sesuai dengan UU No. 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 dan UU No. 28 Tahun 2007.







 


3Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah untuk mendorong kegiatan investasi langsung di Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
4Fasilitas perangsang penanaman ini dapat dibebankan selama 6 tahun, sehingga setiap tahunnya Wajib Pajak berhak mengurangkan dari penghasilan neto sebesar 5% pertahun dari jumlah realisasi penanaman.



Ø Sumber : Purwono Herry, Dasar-dasar Perpajakan & Akuntansi Pajak: Edisi Kelima belas, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010.

Sabtu, 26 Oktober 2013

Akuntansi Pemeriksaan (Auditing Accounting)


PENGERTIAN PEMERIKSAAN AKUNTANSI / AUDITING
Suatu Pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dg tujuan untuk dapat memberikan opini mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.

proses pencatatan auditing berfokus pada proses penelusuran.
      Dalam audit keuangan (Financial audit) kegiatan penelusuran ditujukan pada pencarian bahanpembuktian keuangan sesuai dengan laporan keuangan, karena obyek audit adalah data-data akuntansi,maka auditor dituntut untuk memahami kaedah prinsip akuntansi.Auditing bukanlah cabang dari ilmu akuntansi, akan tetapi merupakan cabang ilmu yang bebas, yangmendasarkan pada hasil kegiatan akuntansi atau hasil kegiatan lainnya.Yang gampang aja deh, dalam mengerjakan laporan keuangan, akuntansi mengerjakan nya maju, daribukti transaksi sampai laporan keuangan, nah dari situ baru deh dilaporkan untuk menghasilakan suatukeputusan.Nah, kalau Auditing, kegiatan menelusur,,, dari laporan keuangan sampai bukti transaksi. (berbeda arahdengan akuntansi).

Perbedaan Pemeriksaan Akuntansi  dengan Akuntansi
w  Pemeriksaan Akuntansi : Dilakukan oleh akuntan Publik (Auditor) dg berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), pemeriksaan dilakukan terhadap Laporan Keuangan  terus sampai kebukti-bukti dasar.
w  Akuntansi :
-          Dilakukan oleh pegawai suatu badan usaha yang berpedoman pada SAK. 
-          Bersifat konstruktif karena dimulai dari bukti-bukti pembukuan, jurnal, buku besar, neraca saldo sampai menjadi laporan keuangan.


JENIS-JENIS AUDIT              
  1. Ditinjau dari luasnya pemeriksaan :
1. General Audit (Pemeriksaan Umum)
            Suatu pemeriksaan atas L/C yang dilakukan oleh KAP Independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendapat kewajaran L/C  secara keseluruhan, dengan Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (SPAP) dan kode etika akuntan Indonesia.
2. Special Audit (Pemeriksaan Khusus)
            Pemeriksaan terbatas (Sesuai permintaan Auditee) yang dilakukan oleh KAP Independen, dan pada akhir pemeriksaan auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran L/C secara keseluruhan.
          
         B. Ditinjau dari jenis pemeriksaan :
1. Audit Laporan Keuangan (General Audit / Financial Audit)
            Bertujuan menentukan apakah laporan keuangan secara keseluruhan telah disajikan secara wajar dalam segala hal yang material sesuai dengan kriteria tertentu.
2.  Audit Operasional (Management Audit)
            Merupakan penelaahan atas bagian maupun dari prosedur dan metode operasi suatu organisasi untuk menilai efisiensi dan efektifitas.
3.  Audit Ketaatan (Compliance Audit)
            Bertujuan untuk menilai apakah klien telah mengikuti aturan dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemilik
4. Computer Audit

Mengapa perlu AUDIT ?
w  Agar L/K yang disajikan bisa dipercaya kewajarannya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
w  Jika sudah diaudit dan mendapat opini Unqualified, pengguna L/K bisa yakin bhw L/K tsb bebas dari salah saji yang material.
w  Mulai 2001 perusahaan yg total asetnya>Rp25M, harus memasukkan audited financial statement ke Dep. Perdagangan dan Industri
w  Perusahaan go public harus memasukkan audited financial statement ke Bapepam paling lambat 90 hari setelah tahun buku.
w  Lebih dipercaya oleh Fiskus.

Sumber :

www.mdp.ac.id/…/AK206/112198/AK206-112198-616-1.ppt

Jumat, 11 Oktober 2013

Perkembangan Perusahaan HandPhone Samsung Android


Samsung saat ini dikenal sebagai produsen handphone Android terbesar di dunia. Bahkan popularitas handphone Samsung pun mengalahkan Apple iPhone. Namun, perjalanan Samsung untuk menjadi produsen smartphone terbesar di dunia cukup lama.

Awal kesuksesan Samsung di dunia smartphone dimulai pada bulan 27 April 2009. Saat itu, Samsung meluncurkan handphone Android pertamanya, yakni Samsung i7500. Handphone ini menawarkan layar sentuh AMOLED berukuran 3.2 inci. OS yang digunakan pada handphone ini adalah OS Android Cupcake 1.5.

Selanjutnya, keberhasilan Samsung dalam platform Android dimulai dengan peluncuran Samsung Galaxy S. Handphone ini diluncurkan oleh Samsung pada Maret 2010. Dan, tingkat penjualan handphone inipun cukup tinggi. Pada Januari 2011, Samsung berhasil menjual handphone ini sebanyak 10 juta unit.

Keberhasilan tersebut pun merembet pada suksesor dari Galaxy S. Di antaranya adalah Samsung Galaxy S II dan Samsung Galaxy S III. Tak hanya itu, beberapa handphone Galaxy lainnya pun memperoleh sambutan tinggi di pasaran. Di antaranya adalah Samsung Galaxy Mini, Samsung Galaxy Young serta Samsung Galaxy Note. Sebenarnya, Samsung mengembangkan sebuah sistem operasi sendiri yang disebutnya sebagai OS Bada. Penamaan OS tersebut pun diambil oleh Samsung dari bahasa Korea yang memiliki arti lautan.

Pada April 2010, Samsung meluncurkan handphone pintar berbasis OS Bada pertamanya, yakni Samsung Wave S8500. Handphone ini menggunakan prosesor single core 1GHz dengan GPU PowerVR SGX 540. Pada bagian layar, handphone ini dilengkapi dengan layar Super AMOLED berukuran 3.3 inci serta kemampuan untuk merekam video HD 720p. Handphone inipun mampu terjual sebanyak 1 juta unit dalam empat minggu pertamanya.

Namun, seiring dengan tingkat penjualan yang kurang baik, Samsung akhirnya mengumumkan bahwa mereka tidak akan melanjutkan pengembangan OS Bada. Merekapun beralih untuk mengembangkan handphone dengan OS Tizen yang menurut rencana akan diluncurkan pada tahun 2013.

Selain itu, Samsung juga memiliki handphone pintar lainnya yang menggunakan OS Windows Phone 7. Dan, handphone Windows Phone pertama yang diluncurkan oleh Samsung adalah Samsung Omnia 7. Namun tingkat penjualan handphone ini masih belum bisa menyaingi tingkat penjualan Samsung Galaxy.

Harga handphone samsung akan diberikan secara lengkap untuk daftar update terbaru memasuki bulan juni tahun 2013, hal ini mengingat HP Samsung baik OS Android atau penggunaan sistem operasi lainnya kian marak menjadi pilihan banyak orang, Samsung menjadi merek handphone pilihan karena kualitas dan fitur yang ditawarkan selalu menjadi yang terbaik dikelasnya ditambah harga hp samsung android terjangkau sejajar dengan kualitas yang diberikan.

HP Samsung Android banyak dicari pembeli karena banyak faktor, diantaranya spesifikasi dan fitur setiap handphone samsung selalu update terbaru untuk generasi teknologi multimedia yang digunakan dan harga hp samsung android disesuaikan dengan teknologi terbaru yang menyertainya.

Desain HP Samsung selalu elegan dan terlihat mewah bila dilihat secara cermat dilengkapi teknologi terbaru baik sistem operasi dan juga spesifikasi maupun fitur-fitur yang lengkap diberikan mengikuti perkembangan teknologi gadget. Samsung memang selalu up to date di bidang teknologi modern yang pastinya setiap pengguna gadget baik handphone maupun smartphone dan teknologi elektronik buatan samsung lainnya akan merasa sangat puas.

Sumber :
http://www.beritateknologi.com/sejarah-perkembangan-handphone-pintar-samsung/

Selasa, 30 Juli 2013

Perpajakan Dalam Hukum Ekonomi

BAB I
Pendahuluan


1.1  LATAR BELAKANG
Dalam setiap kedudukan kehidupan perekonomian yang sangat dbutuhkan oleh setiap Negara, baik Negara-negara maju dan Negara-negara berkembang menginginkan kelancaran jalannya proses perekonomian. Sehingga membutuhkan ketaatan-ketaatan dalam setiap proses ekonomi. Dengan adanya aspek hukum dalam ekonomi yang mengatur setiap jalannya ekonomi, akan memperlancar dan mengatur perekonomian dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dan dibuat secara kesepakatan.
Banyak orang yang menyalahgunakan aturan hukum ekonomi. Yang seharusnya dijalankan sesuai dengan aturan yang ditentukan, tetapi karena ingin kemudahan atau kelancaran yang lebih cepat  sehingga ia mengubah aturan tersebut. Disinilah sebenarnya bagaimana aturan dalam ekonomi itu harus di laksanakan.

1.2  TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang aspek hukum dalam ekonomi dan mengulas kembali pelajaran mata kuliah aspek hukum dalam ekonomi. Diharapkan juga agar dapat bermanfaat bagi kita semua.










BAB II
PERPAJAKAN DALAM HUKUM EKONOMI


2.1 Pengertian pajak

Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli adalah sebgai berikut:
1. Menurut Sommerfeld: pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas tugasnya dalam pemerintahan

2. Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’.
Dari pengertian itu dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
* Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
* Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat dikenakan sanksi;
* Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
* Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
* Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.

3. Menurut Prof. DR. M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah’

4. Menurut Ray M. Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria without reference to specific benefits receifed, so as to accomplish some of a nation’s economic and social objectives”
Sebenarnya masih banyak lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak dengan menggunakan kalimat masing-masing.

2.2 Jenis Pajak

Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.      Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia.
2.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3.      PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a.       barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
b.      Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
c.       Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
d.      Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
e.       Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.      Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
6.      Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:

1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan Jalan,
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.
2.3 Manfaat Pajak

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.

2.4 Pajak Penghasilan

Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

Dalam Undang-Unadang Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.


2. Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.

2.5 Bentuk Usaha Tetap (BUT).

BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

2.5.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.

Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”

UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah. Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.

Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.


Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan. Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan. Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.

PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.

2.5.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.

Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;

Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).

Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan. Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.

UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan).


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan

Perlakuan PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhadap wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban pajak yang lebih besar dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf d)
2. kerugian dari selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak wajib pajak untuk membebankan kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan kepada masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak merupakan kunci pembangunan.






Daftar Pustaka



Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
Alrasid,Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Pandiangan, Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro, Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung