BAB I
Pendahuluan
1.1 LATAR BELAKANG
Dalam setiap kedudukan kehidupan perekonomian yang
sangat dbutuhkan oleh setiap Negara, baik Negara-negara maju dan Negara-negara
berkembang menginginkan kelancaran jalannya proses perekonomian. Sehingga
membutuhkan ketaatan-ketaatan dalam setiap proses ekonomi. Dengan adanya aspek
hukum dalam ekonomi yang mengatur setiap jalannya ekonomi, akan memperlancar
dan mengatur perekonomian dengan aturan-aturan yang telah ditentukan dan dibuat
secara kesepakatan.
Banyak orang yang menyalahgunakan
aturan hukum ekonomi. Yang seharusnya dijalankan sesuai dengan aturan yang
ditentukan, tetapi karena ingin kemudahan atau kelancaran yang lebih
cepat sehingga ia mengubah aturan tersebut. Disinilah sebenarnya bagaimana
aturan dalam ekonomi itu harus di laksanakan.
1.2 TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan
tentang aspek hukum dalam ekonomi dan mengulas kembali pelajaran mata kuliah
aspek hukum dalam ekonomi. Diharapkan juga agar dapat bermanfaat bagi kita
semua.
BAB II
PERPAJAKAN DALAM HUKUM EKONOMI
2.1 Pengertian pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian antara pajak antara yang satu
dengan yang lainnya. Diantara beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli
adalah sebgai berikut:
1. Menurut Sommerfeld:
pajak adalah suatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor
swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa mendapat suatu
imabalan kemabali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat melaksanakan
tugas tugasnya dalam pemerintahan
2. Menurut Prof. DR.
Rochmat Soemitro: pajak adalah pengalihan kekayaan dari pihak rakyat kepad
negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk
‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public
investment’.
Dari pengertian itu
dapat disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
* Pajak dipungut
berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksananya;
* Sifatnya dapat
dipaksakan, hal ini berarti bahwa pelanggaran atas iuran perpajkan dapat
dikenakan sanksi;
* Dalam pembayaran pajak
tidak dapat ditunjukan adanya kontra[restai secara langsung oleh pemerintah;
* Pajak dipungut oleh
Negara baik pemerintah pusat maupun daerah;
* Pajak diperuntukkan
bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
3. Menurut Prof. DR.
M.J.H. Smeets: pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa ada kontra prestasi yang
dapat ditunjukkan dalam hal individual; maksudnya adalah untuk membiayai
pengeluaran pemerintah’
4. Menurut Ray M.
Sommer, Hershel M. Andersen dan Horace R. Brock: “A tax can be defined
meaningfully as any nonpenal yet compulsory transfer of recourses from the
private to the public sector, levied on the basis of predetermined criteria
without reference to specific benefits receifed, so as to accomplish some of a
nation’s economic and social objectives”
Sebenarnya masih banyak
lagi para ahli dan pakar perpajakan yang mengemukakan pengertian pajak dengan
menggunakan kalimat masing-masing.
2.2 Jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan
menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang
dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh
Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah
pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi
maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.
Pajak Penghasilan (PPh)
: PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas
penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia.
2.
Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah
yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada
dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3.
PajakPenjualan atas
Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak
tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan
pokok.
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
tertentu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh
masyarakat berpenghasilan tinggi
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan
status
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan
moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
4.
Bea Meterai Bea Meterai
adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau
benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian
dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.
Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan
(property tax).
6.
Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh
Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Selain pajak-pajak yang
dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1.
Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2.
Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame,
e. Pajak Penerangan
Jalan,
f. Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas
diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib.
Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya.
Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan
hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang
legal.
2.3 Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau
keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan
pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa
pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan.
Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan
pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti
jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai
dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan
untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan
masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal
dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya
dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa
peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam
menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Disamping
fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi
redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang
lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu
tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara
baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi
pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada
dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
2.4 Pajak Penghasilan
Pajak penghasilan adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang
dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda di wilayah
Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun
atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalam undang-undang
diantaranya adalah
1. Undang-undang nomor:
7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang
pajak penghasilan
2. Undang-undang nomor
46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang
bertolak keluar negri
3. UUD 1945 pasal23 ayat
(2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
4. UU No. 6 Tahun 1983
ttg KUP jo. UU No. 9/1994
5. UU No. 7 Tahun 1983
ttg PPh jo. UU No. 10/1994
6. UU No. 8 Tahun 1983
ttg PPN jo. UU No. 11/1994
7. UU No. 12 Tahun 1985
ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
8. UU No. 13 Tahun 1985
ttg Bea Materai
9. UU No. 21 Tahun 1997
ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007
Dalam Undang-Unadang
Pajak Penghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh,
namun secara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU
PPh menegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1. Orang pribadi dan
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Badan yang terdiri
dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD
dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi,
Koperasi Yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk
Badan Usaha lainnya.
2.5 Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orang pribadi yang tidak beretempat
tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yang tidak didirikan atau tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia.
2.5.1 Perlakuan PPh atas
pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau
bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2).
“Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan
dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu
lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983.
Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga
deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang
dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga
mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa
efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta
penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan
yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada
kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan
pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut
diatur dengan peraturan pemerintah. Perlakuan pajak atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak
diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang
menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah
bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa
membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang
membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha
tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996
pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang
usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang
mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai
kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara
jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan
oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai
pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud
maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak
sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang
usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan
dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini
sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi
yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh
perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang
mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang
tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan
merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun
yang bersangkutan. Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari
pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka
waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban
pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun
waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga
peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya
adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk
harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan
perpajakan. Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan
usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar
sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk
dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat
final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau
pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang
menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi
yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan,
keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.
2.5.2 Perlakuan PPh atas
kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung
Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium,
bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa,
royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya
administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk
memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran
kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian
karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan
pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang,
dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi
syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana
disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena
penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan
atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang
dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang
dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang
dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui
mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena
harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain
Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain
cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang
dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian.
Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya
dibukukan sebagai penghasilan. Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak
dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum
memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut
pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas
penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang
demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana
alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu
bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak
dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya
kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10
ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang
dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok,
metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan
tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama
juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama
terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan
yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk
memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah
menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah
terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak
benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal,
antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh
Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti
pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perlakuan
PPh atas keuntungan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan terhadap
wajib pajak orang pribadi menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak orang
pribadi biasa. Yang dimaksud dengan wajib pajak orang pribadi biasa adalah
mereka yang tidak melakukan kegiatan usaha jual-beli hak atas tanah dan/atau
bangunan. Wajib pajak kelompok ini akan memikul beban pajak yang lebih besar
dari pada mereka yang mempunyai usaha pokok jual beli hak atas tanah dan/atau
bangunan.
Undang-undang PPh hanya mengatur
bahwa kerugian yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah:
1. kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat
(1) huruf d)
2. kerugian dari selisih kurs mata
uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e)
3. piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih sepanjang memenuhi persyaratan tertentu Pasal 6 ayat (1) huruf h
Ketentuan diatas belum mencakup hak
wajib pajak untuk membebankan kerugian yang diderirta karena bencana alam oleh
karena itu perlu dipertimbangkan untuk memperluas cakupan Pasal 6 sehingga
mencakup kerugian yang diderita karena bencana dimaksud.
Pengertian-pengertian dan pemahaman
mengenai pajak seperti diatas yang perlu terus disosialisasikan kepada
masyarakat lewat kampanye sadar pajak dalam berbagai bentuknya, seperti
seminar, diskusi, penataran, lokakarya, simulasi, dan bentuk aktifitas lainnya
Dengan upaya ini diharapkan tumbuhnya apresiasi positif masyarakat terhadap
pajak yang pada akhirnya sampai pada suatu keinsyafan bahwa sadar pajak
merupakan kunci pembangunan.
Daftar Pustaka
Soemitro,
Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Muqodim,
2000. Perpajakan Buku Satu, UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Brotodiharjo
Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung
Burton,
Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta
Alrasid,Harun.
Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia, UII Press
Hostaritua,
Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Pandiangan,
Liberti. 2002. Undang-Undang Perpajakan Indonesia,Erlangga,
Soemitro,
Rocmat.1991. Pajak Ditinjau Dari SegiHukum, PT Eresco, Bandung